Senin, 24 Juni 2013

Kontrol Kualitas dan Pengendalian dalam Program Fortifikasi Pangan


Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) kepangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.
Fortifikasi sangat sesuai  direkomendasikan sebagai strategi primer  untuk  beberapa negara dalam rangka menurunkan anemi defisiensi besi. Namun demikian fortifikasi hanyalah merupakan salah satu strategi di samping strategi lainnya seperti suplementasi, diversifkasi konsumsi,  promosi ASI eksklusif dan juga kontrol parasit. Di negara maju program fortifikasi bisa menjadi efisien, efektif, dan mampu bertahan, sehingga dapat dikatakan berhasil. Berbeda dengan negara berkembang yang kondisi sosial ekonomisnya tertinggal  dibandingkan dengan negara maju.


Upaya Fortifikasi Bahan Pangan
Fortifikasi bahan pangan adalah upaya meningkatkan mutu gizi bahan makanan dengan memperkaya kandungan zat gizi melalui penambahan zat gizi tertentu untuk menanggulangi masalah gizi masyarakat. Dalam Repelita VI telah ditetapkan beberapa zat gizi sebagai fortifikan yang penting, yaitu zat besi, vitamin A, dan iodium.
Pada tahun 1995/96 masih dilanjutkan upaya penelitian di bidang fortifikasi vitamin A pada beras di NTT. Khusus mengenai garam beriodium, dilanjutkan intensifikasi penyuluhan pentingnya garam beriodium, pengketatan pengawasan produksi dan distribusi garam beriodium dan penindakan pada produsen yang melanggar.

KONTROL KUALITAS DAN PENGENDALIAN PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN
PENGENDALIAN PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN
Kolaborasi Semua Pihak
Karena itu, fortifikasi pangan dengan zat gizimikro adalah salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi gizi buruk serta meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pangan, selain untuk perbaikan praktik pertanian yang baik, perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk mengadopsi praktikpraktik penyediaan pangan yang baik.
Dalam hal ini, betapa pentingnya menetapkan strategi fortifikasi yang baik serta merumuskan mekanisme untuk kolaborasi antara pemerintah, industri pangan, dan lembaga swadaya masyarakat guna mengembangkan sistem jaminan mutu. Partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan, dengan dukungan promosi dan edukasi untuk mencapai populasi sasaran, adalah penting untuk mengatasi persoalan gizi di Tanah Air.
Kementerian Kesehatan di pusat dan daerah sebaiknya membenahi tata kelola fortifikasi, terutama yang menyangkut pemeriksaan dan audit. Kegiatan fortifikasi oleh produsen pangan juga tidak boleh asal-asalan, tapi harus didasarkan pada metode analisis kantitatif. Pada akhirnya, semua pihak harus memastikan bahwa program fortifikasi berjalan dengan semestinya, demi pencapaian MDG’s dan demi bangsa Indonesia yang sehat dan kuat.
Peran Pemerintah Dalam Program Fortifikasi Pangan
Program perbaikan gizi selama Repelita VI diprioritaskan untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat melalui peningkatan peranserta masyarakat dalam upaya memperluas cakupan dan sasaran penanggulangan gizi-kurang, terutama di desa-desa miskin dan tertinggal. Dalam pelaksanaannya program perbaikan gizi meliputi upaya meningkatkan mutu dari produk-produk makanan yang dihasilkan baik oleh sektor industri maupun olahan         masyarakat, dan melindungi masyarakat dari bahan makanan yang membahayakan kesehatan.
Program perbaikan gizi dilaksanakan melalui kegiatan-k­egiatan (a) penyuluhan gizi masyarakat; (b) usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK); (c) usaha perbaikan gizi institusi (UPGI); (d) fortifikasi bahan pangan, dan (e) penerapan dan pengembangan     sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG).
Pada umumnya penduduk di negara berkembang memiliki akses terhadap pangan rendah karena berkaitan dengan kemiskinan. Kebanyakan mereka mengkonsumsi pangan dari pangan yang ditanam atau pangan yang tersedia di pasar lokal. Pertanyaannya adalah bagaimana program fortifikasi bisa menjangkau para keluarga berpenghasilan rendah. Disisi lain fortifikasi akan menaikkan biaya produksi yang berimplikasi pada kenaikan harga jual.
Fortifikasi pangan merupakan aktivitas yang cukup luas melibatkan berbagai sektor, tidak hanya sektor kesehatan. Keefektifan dan keberlanjutan dari program fortifikasi bilamana terjadi kerjasama yang baik antara pemerintah, sektor publik, sektor swasta dan sektor sosial. Pada program fortifikasi peran swasta dan masyarakat cukup besar dan akan menentukan tingkat keberhasilan.
Fortifikasi wajib atas komoditas pangan tertentu adalah bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan yang cost-effective. Kedepannya diharapkan agar pada periode pembangunan nasional dan daerah program fortifikasi wajib tidak terbatas pada fortifikasi wajib garam beryodium, dan tepung terigu seperti yang ada, tetapi juga raskin, minyak goreng curah, dan produk tepung lain yang nonterigu.
Di Indonesia, fortifikasi zat besi misalnya telah wajib diberlakukan pada beberapa produk pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu. Namun demikian, sampai sekarang fortifikasi masih belum banyak berperan dalam penanggulangan anemia gizi besi di masyarakat, terlihat dengan masih tingginya angka prevalensi anemia gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah karena bahan pangan yang digunakan sebagai tunggangan (vehicle) belum dikonsumsi secara luas dan kontinyu oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah. Agar strategi fortifikasi ini lebih efektif, perlu dicari pangan “tunggangan” baru yang lebih umum dan banyak dikonsumsi masyarakat.
Peran Industri Dalam Program Fortifikasi Pangan
Harus diakui bahwa, industri pangan di Indonesia telah berkembang  dengan cukup pesat. Ia telah berhasil membawa perubahan-perubahan  terhadap kebiasaan dan pola makan masyarakat konsumennya. Industri   pangan sudah berhasil pula menyajikan kepada konsumen beragam pilihan produk pangan olahan, termasuk yang menjanjikan kemudahan-kemudahan   dalam penyiapan, penyajian dan pembuangannya. Namun demikian,  pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah apakah perubahan-perubahan  cukup mendasar yang diakibatkan oleh kegiatan pengembangan industri pangan tersebut membawa manfaat terhadap status gizi dan kesehatan  masyarakat konsumennya.
Industri pangan/makanan memegang peranan kunci dalam setiap program fortifikasi di setiap Negara.  Hal ini disebabkan karena industri pangan  memang memegang peranan yang penting dan strategis dalam membentuk  pola dan kebiasaan diet masyarakat. Apalagi dengan kegiatan promosi  yang didukung oleh dana yang besar, maka industri pangan mempunyai  kekuatan yang besar untuk mempengaruhi (secara positif atau pun   negatif) status gizi dan kesehatan masyarakat konsumennya.
Pelaksanaan fortifikasi pangan, bagaimanapun, harus dijalankan oleh industri pangan/makanan. Akan tetapi, dalam banyak kasus departemen kesehtan sering tidak dapat atau mau mengendalikan dan memotivasi industri. Umumnya pemerintah tidak melakukan sendiri fortifikasi pangan. Hal ini adalah tugas/tanggungjawab dari perusahaan pengolahan makanan. Pegawai pemerintah harus bertindak sebagai penasehat, konsultan, koordinator, dan supervisor yang memungkinkan industri pangan/makanan melaksanakan fortifikasi pangan secara efektif dan menguntungkan.


KONTROL KUALITAS PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN

Persyaratan produk
Pada umumnya beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalam memilih bahan pembawa atau kendaraan untuk fortifikasi (carrier). Pertama (1), bahan pembawa harus merupakan bahan yang dikonsumsi dalam jumlah yang cukup oleh kelompok target. Bahan pembawa yang ideal adalah bahan yang dimakan setiap hari dan dalam jumlah konstan oleh kelompok sasaran, dapat membawa zat gizi dalam jumlah yang ditetapkan serta tersedia di pasaran agar mudah diperoleh, seperti garam dan terigu. Kedua (2), bahan pembawa harus diproduksi secara terpusat dan didistribusikan melalui jalur tertentu agar mudah dimonitor atau dikontrol. Ketiga (3), bahan pembawa yang telah difortifikasi seharusnya tetap stabil dan tidak banyak mengalami perubahan dari aspek sensorinya. Sebagai contoh senyawa fortifikan yang ditambahkan ke terigu tidak akan merubah sifat pengembangan dan warna produk pada kondisi penyimpanan. Selain itu teknik penambahan fortifikan ke dalam bahan pembawanya tidak menyebabkan terjadinya reaksi yang dapat menurunkan tingkat penyerapan dalam tubuh atau bioavalabilitasnya. Keempat (4), senyawa fortifikan yang ditambahkan ke dalam bahan pembawa harus tidak berubah selama penyimpanan.Sebagai contoh, tidak terjadi pengendapan zat besi pada tepung terigu yang difortifikasi. Kelima (5), harga bahan pangan yang difortifikasi masih terjangkau oleh kelompok target.
Strategi Fortifikasi
·           Dikombinasikan  dengan Pendekatan  Perbaikan Gizi Lainnya
Program fortifikasi sebaiknya dilaksanakan dan diikuti  program gizi  lainnya. Pendekatan program yang dapat disertakan diantaranya pendidikan gizi, suplementasi, aktivitas kesehatan masyarakat, dan perubahan konsumsi pangan. Perubahan konsumsi diarahkan ke diversifikasi pangan untuk meningkatkan konsumsi pangan kaya besi.  Perubahan akan terjadi bilamana  disertai pendidikan gizi dengan penyampaian pesan yang sesuai  target grup dan  bisa diterima. Melalui peningkatan pemahaman tentang besi dan dampaknya diharapkan akan merubah perilaku pemilihan pangan yang dikonsumsi. Demikian pula dengan suplementasidan dan  juga ASI eksklusif tetap harus dilakukan seiring dengan program perbaikan gizi yang lain.
·           Pemilihan Pangan  Pembawa
Pangan  potensial untuk difortifikasi meliputi tepung terigu, minyak goreng, dan gula. Ketiga komponen tersebut merupakan pangan yang setiap   saat dikonsumsi oleh masyarakat baik di desa maupun kota dalam bentuk berbagi produk makanan olahan. Minyak goreng merupakan media untuk semua produk makanan gorengan. Produk makanan gorengan, merupakan makanan yang setiap hari hampir pasti dikonsumsi oleh semua orang. Tepung terigu merupakan bahan baku untuk berbagai macam produk makanan olahan seperti mie, dan roti. Demikian pula dengan gula, hampir semua orang setiap harinya selalu mengkonsumsinya.
·           Pemilihan Fortifikan
Beberapa faktor penting dalam pemilihan fortifikan yaitu : (1). fortifikan tidak mempengaruhi produk akhir, dalam hal sifat sensoris,  (2).  tidak bereaksi dengan bahan- bahan lain, (3). tidak mengganggu selama proses, (4). fesibel secara ekonomi, dan (5). masih tersedia setelah proses selesai.
Selain beberapa faktor di atas parameter lain yang juga perlu diperhatikan adalah (a). kualitas produk setelah penyimpanan, tidak mengalami perubahan sifat fisik dan kimia, (b). stabilitas vitamin dan mineral setelah pnyimpanan, yaitu 90 hari penyimpanan, tidak berubah, (c). karakteristik tepung terigu tidak berubah, seperti sifat adonan, penyerapan air, elastisitas, development time, warna, aktivitas enzim. 

Prihananto. 2004. Fortifikasi Pangan Sebagai Upaya Penanggulangan Anemi Zat Gizi Besi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar