Fortifikasi pangan
adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) kepangan. Tujuan utama
adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk
meningkatkan status gizi populasi. harus diperhatikan bahwa peran pokok dari
fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari
terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio
ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan
mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.
Fortifikasi sangat
sesuai direkomendasikan sebagai strategi
primer untuk beberapa negara dalam rangka menurunkan anemi
defisiensi besi. Namun demikian fortifikasi hanyalah merupakan salah satu
strategi di samping strategi lainnya seperti suplementasi, diversifkasi
konsumsi, promosi ASI eksklusif dan juga
kontrol parasit. Di negara maju program fortifikasi bisa menjadi efisien,
efektif, dan mampu bertahan, sehingga dapat dikatakan berhasil. Berbeda dengan
negara berkembang yang kondisi sosial ekonomisnya tertinggal dibandingkan dengan negara maju.
Upaya
Fortifikasi Bahan Pangan
Fortifikasi bahan
pangan adalah upaya meningkatkan mutu gizi bahan makanan dengan memperkaya
kandungan zat gizi melalui penambahan zat gizi tertentu untuk menanggulangi
masalah gizi masyarakat. Dalam Repelita VI telah ditetapkan beberapa zat gizi sebagai
fortifikan yang penting, yaitu zat besi, vitamin A, dan iodium.
Pada tahun 1995/96
masih dilanjutkan upaya penelitian di bidang fortifikasi vitamin A pada beras di NTT.
Khusus mengenai garam beriodium, dilanjutkan intensifikasi penyuluhan
pentingnya garam beriodium, pengketatan pengawasan produksi dan distribusi
garam beriodium dan penindakan pada produsen yang melanggar.
KONTROL
KUALITAS DAN PENGENDALIAN PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN
PENGENDALIAN
PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN
Kolaborasi Semua Pihak
Karena itu, fortifikasi
pangan dengan zat gizimikro adalah salah satu strategi yang dapat digunakan
untuk mengatasi gizi buruk serta meningkatkan status mikronutrien pangan.
Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pangan,
selain untuk perbaikan praktik pertanian yang baik, perbaikan pengolahan dan
penyimpangan pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan
konsumen untuk mengadopsi praktikpraktik penyediaan pangan yang baik.
Dalam hal ini, betapa
pentingnya menetapkan strategi fortifikasi yang baik serta merumuskan mekanisme
untuk kolaborasi antara pemerintah, industri pangan, dan lembaga swadaya
masyarakat guna mengembangkan sistem jaminan mutu. Partisipasi aktif dari para
pemangku kepentingan, dengan dukungan promosi dan edukasi untuk mencapai
populasi sasaran, adalah penting untuk mengatasi persoalan gizi di Tanah Air.
Kementerian Kesehatan di pusat dan
daerah sebaiknya membenahi tata kelola fortifikasi, terutama yang menyangkut
pemeriksaan dan audit. Kegiatan fortifikasi oleh produsen pangan juga tidak
boleh asal-asalan, tapi harus didasarkan pada metode analisis kantitatif. Pada
akhirnya, semua pihak harus memastikan bahwa program fortifikasi berjalan
dengan semestinya, demi pencapaian MDG’s dan demi bangsa Indonesia yang sehat
dan kuat.
Peran
Pemerintah Dalam Program Fortifikasi Pangan
Program perbaikan gizi
selama Repelita VI diprioritaskan untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat
melalui peningkatan peranserta masyarakat dalam upaya memperluas cakupan dan
sasaran penanggulangan gizi-kurang, terutama di desa-desa miskin dan
tertinggal. Dalam pelaksanaannya program perbaikan gizi meliputi upaya
meningkatkan mutu dari produk-produk makanan yang dihasilkan baik oleh sektor
industri maupun olahan
masyarakat, dan melindungi masyarakat dari bahan makanan yang membahayakan
kesehatan.
Program perbaikan gizi dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan
(a) penyuluhan gizi masyarakat; (b) usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK); (c)
usaha perbaikan gizi institusi (UPGI); (d) fortifikasi bahan pangan, dan (e)
penerapan dan pengembangan sistem kewaspadaan pangan
dan gizi (SKPG).
Pada umumnya penduduk di negara berkembang memiliki akses
terhadap pangan rendah karena berkaitan dengan kemiskinan. Kebanyakan mereka
mengkonsumsi pangan dari pangan yang ditanam atau pangan yang tersedia di pasar
lokal. Pertanyaannya adalah bagaimana program fortifikasi bisa menjangkau para
keluarga berpenghasilan rendah. Disisi lain fortifikasi akan menaikkan biaya
produksi yang berimplikasi pada kenaikan harga jual.
Fortifikasi pangan merupakan aktivitas yang cukup luas melibatkan
berbagai sektor, tidak hanya sektor kesehatan. Keefektifan dan keberlanjutan
dari program fortifikasi bilamana terjadi kerjasama yang baik antara
pemerintah, sektor publik, sektor swasta dan sektor sosial. Pada program
fortifikasi peran swasta dan masyarakat cukup besar dan akan menentukan tingkat
keberhasilan.
Fortifikasi wajib atas komoditas pangan tertentu adalah
bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan yang cost-effective.
Kedepannya diharapkan agar pada periode pembangunan nasional dan daerah program
fortifikasi wajib tidak terbatas pada fortifikasi wajib garam beryodium, dan
tepung terigu seperti yang ada, tetapi juga raskin, minyak goreng curah, dan
produk tepung lain yang nonterigu.
Di Indonesia,
fortifikasi zat besi misalnya telah wajib diberlakukan pada beberapa produk
pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu. Namun demikian, sampai
sekarang fortifikasi masih belum banyak berperan dalam penanggulangan anemia
gizi besi di masyarakat, terlihat dengan masih tingginya angka prevalensi
anemia gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah karena bahan pangan yang
digunakan sebagai tunggangan (vehicle) belum dikonsumsi secara luas dan
kontinyu oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah.
Agar strategi fortifikasi ini lebih efektif, perlu dicari pangan “tunggangan”
baru yang lebih umum dan banyak dikonsumsi masyarakat.
Peran Industri Dalam
Program Fortifikasi Pangan
Harus diakui bahwa, industri pangan di Indonesia telah
berkembang dengan cukup pesat. Ia telah berhasil membawa
perubahan-perubahan terhadap kebiasaan dan pola makan masyarakat
konsumennya. Industri pangan sudah berhasil pula menyajikan
kepada konsumen beragam pilihan produk pangan olahan, termasuk yang menjanjikan
kemudahan-kemudahan dalam penyiapan, penyajian dan
pembuangannya. Namun demikian, pertanyaan yang perlu dikemukakan
adalah apakah perubahan-perubahan cukup mendasar yang diakibatkan
oleh kegiatan pengembangan industri pangan tersebut membawa manfaat terhadap status
gizi dan kesehatan masyarakat konsumennya.
Industri pangan/makanan memegang peranan kunci dalam setiap
program fortifikasi di setiap Negara. Hal ini disebabkan karena industri
pangan memang memegang peranan yang penting dan strategis dalam
membentuk pola dan kebiasaan diet masyarakat. Apalagi dengan
kegiatan promosi yang didukung oleh dana yang besar, maka industri
pangan mempunyai kekuatan yang besar untuk mempengaruhi (secara
positif atau pun negatif) status gizi dan kesehatan masyarakat
konsumennya.
Pelaksanaan fortifikasi
pangan, bagaimanapun, harus dijalankan oleh industri pangan/makanan. Akan
tetapi, dalam banyak kasus departemen kesehtan sering tidak dapat atau mau
mengendalikan dan memotivasi industri. Umumnya pemerintah tidak melakukan
sendiri fortifikasi pangan. Hal ini adalah tugas/tanggungjawab dari perusahaan
pengolahan makanan. Pegawai pemerintah harus bertindak sebagai penasehat,
konsultan, koordinator, dan supervisor yang memungkinkan industri
pangan/makanan melaksanakan fortifikasi pangan secara efektif dan
menguntungkan.
KONTROL
KUALITAS PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN
Persyaratan produk
Pada umumnya beberapa
faktor perlu dipertimbangkan dalam memilih bahan pembawa atau kendaraan untuk
fortifikasi (carrier). Pertama (1), bahan pembawa harus merupakan bahan yang
dikonsumsi dalam jumlah yang cukup oleh kelompok target. Bahan pembawa yang
ideal adalah bahan yang dimakan setiap hari dan dalam jumlah konstan oleh
kelompok sasaran, dapat membawa zat gizi dalam jumlah yang ditetapkan serta
tersedia di pasaran agar mudah diperoleh, seperti garam dan terigu. Kedua (2),
bahan pembawa harus diproduksi secara terpusat dan didistribusikan melalui
jalur tertentu agar mudah dimonitor atau dikontrol. Ketiga (3), bahan pembawa
yang telah difortifikasi seharusnya tetap stabil dan tidak banyak mengalami
perubahan dari aspek sensorinya. Sebagai contoh senyawa fortifikan yang
ditambahkan ke terigu tidak akan merubah sifat pengembangan dan warna produk
pada kondisi penyimpanan. Selain itu teknik penambahan fortifikan ke dalam
bahan pembawanya tidak menyebabkan terjadinya reaksi yang dapat menurunkan
tingkat penyerapan dalam tubuh atau bioavalabilitasnya. Keempat (4), senyawa
fortifikan yang ditambahkan ke dalam bahan pembawa harus tidak berubah selama penyimpanan.Sebagai
contoh, tidak terjadi pengendapan zat besi pada tepung terigu yang
difortifikasi. Kelima (5), harga bahan pangan yang difortifikasi masih
terjangkau oleh kelompok target.
Strategi
Fortifikasi
·
Dikombinasikan
dengan Pendekatan Perbaikan Gizi
Lainnya
Program fortifikasi
sebaiknya dilaksanakan dan diikuti
program gizi lainnya. Pendekatan
program yang dapat disertakan diantaranya pendidikan gizi, suplementasi,
aktivitas kesehatan masyarakat, dan perubahan konsumsi pangan. Perubahan
konsumsi diarahkan ke diversifikasi pangan untuk meningkatkan konsumsi pangan
kaya besi. Perubahan akan terjadi
bilamana disertai pendidikan gizi dengan
penyampaian pesan yang sesuai target
grup dan bisa diterima. Melalui
peningkatan pemahaman tentang besi dan dampaknya diharapkan akan merubah
perilaku pemilihan pangan yang dikonsumsi. Demikian pula dengan suplementasidan
dan juga ASI eksklusif tetap harus
dilakukan seiring dengan program perbaikan gizi yang lain.
·
Pemilihan Pangan
Pembawa
Pangan
potensial untuk difortifikasi meliputi tepung terigu, minyak goreng, dan
gula. Ketiga komponen tersebut merupakan pangan yang setiap saat dikonsumsi oleh masyarakat baik di desa
maupun kota dalam bentuk berbagi produk makanan olahan. Minyak goreng merupakan
media untuk semua produk makanan gorengan. Produk makanan gorengan, merupakan
makanan yang setiap hari hampir pasti dikonsumsi oleh semua orang. Tepung
terigu merupakan bahan baku untuk berbagai macam produk makanan olahan seperti
mie, dan roti. Demikian pula dengan gula, hampir semua orang setiap harinya
selalu mengkonsumsinya.
·
Pemilihan Fortifikan
Beberapa faktor penting dalam pemilihan fortifikan yaitu :
(1). fortifikan tidak mempengaruhi produk akhir, dalam hal sifat sensoris, (2).
tidak bereaksi dengan bahan- bahan lain, (3). tidak mengganggu selama
proses, (4). fesibel secara ekonomi, dan (5). masih tersedia setelah proses
selesai.
Selain beberapa faktor di atas parameter lain yang juga perlu
diperhatikan adalah (a). kualitas produk setelah penyimpanan, tidak mengalami
perubahan sifat fisik dan kimia, (b). stabilitas vitamin dan mineral setelah
pnyimpanan, yaitu 90 hari penyimpanan, tidak berubah, (c). karakteristik tepung
terigu tidak berubah, seperti sifat adonan, penyerapan air, elastisitas,
development time, warna, aktivitas enzim.
Prihananto. 2004. Fortifikasi Pangan Sebagai Upaya
Penanggulangan Anemi Zat Gizi Besi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar