Pangan merupakan
kebutuhan dasar yang merupakan hak setiap manusia dan merupakan salah satu faktor penentu kualitas
sumberdaya manusia. Faktor penentu mutu
pangan adalah keanekaragaman (diversifikasi) jenis pangan, keseimbangan gizi dan keamanan pangan. Disadari
bahwa ketidakseimbangan gizi
akibat konsumsi pangan yang kurang
beraneka ragam akan berdampak pada timbulnya masalah gizi, baik gizi kurang
maupun gizi lebih.
Lembaga Kesehatan
Dunia World Health
Organization (WHO 2000) menginformasikan bahawa
lebih dari 90
persen masalah kesehatan
manusia terkait dengan kualitas makanan yang
dikonsumsi. Berbagai kajian
di bidang gizi dan kesehatan
menunjukkan bahwa untuk dapat hidup sehat dan produktif, manusia memerlukan
sekitar 45 jenis
zat gizi yang
harus diperoleh dari makanan
yang dikonsumsi, dan
tidak ada satu
jenis panganpun yang mampu memenuhi seluruh
kebutuhan gizi bagi manusia. Untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut,
setiap orang perlu
mengkonsumsi pangan yang
beragam dan bergizi seimbang,
serta aman. Dengan
mengkonsumsi makanan yang beranekaragam setiap
hari, kekurangan zat
gizi pada jenis makanan
yang satu akan dilengkapi oleh
keunggulan susunan zat gizi jenis makanan lain, sehingga diperoleh masukan zat
gizi yang seimbang.
Sebaliknya mengkonsumsi hanya
satu jenis makanan dalam jangka waktu
relatif lama, dapat menderita
berbagai penyakit kekurangan zat gizi atau gangguan kesehatan.
Konsumsi
Pangan
Konsumsi pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupan
yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi
manusia yang termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman (Depkes, 2004).
Konsumsi pangan
merupakan informasi tentang jenis dan
jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) atau diminum seseorang atau kelompok
orang pada waktu tertentu. Jenis dan jumlah pangan merupakan informasi yang
penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi (Hardinsyah,
1994). Secara umum, faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga dimana
keadaan ekonomi keluarga relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan,
terutama pada golongan miskin, selain pendapatan, faktor ekonomi yang
mempengaruhi konsumsi pangan adalah
harga pangan dan non pangan. Harga pangan yang tinggi menyebabkan berkurangnya
daya beli yang berarti pendapatan riil berkurang. Keadaan ini menyebabkan
konsumsi pangan berkurang sedangkan faktor sosio-budaya dan religi yaitu aspek
sosial budaya berarti fungsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sesuai
dengan keadaaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan dan pendidikan masyarakat
tersebut. Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan
yang digunakan untuk dikonsumsi. Kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam
konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis bahan pangan, pengolahan, serta persiapan dan penyajiannya
(Baliwati, 2004).
Penganekaragaman
Pangan
Konsep keragaman
konsumsi pangan untuk hidup sehat
telah berkembang sejak abad ke-2
Sebelum Masehi di zaman Cina kuno. Pada zaman
tersebut, makanan yang
dianjurkan adalah yang terdiri
dari lima jenis
biji-bijian, lima jenis pangan hewani, lima jenis buah dan lima
jenis sayur, dan makanan atau minuman lain yang
enak aroma dan rasanya
(Zhi-chien, 1993).
Diversifikasi konsumsi
pangan mempunyai peranan
yang sangat penting dalam upaya peningkatan perbaikan gizi untuk
mendapatkan manusia yang berkualitas. Martianto (2005) menunjukkan bahwa manusia untuk dapat hidup
aktif dan sehat
memerlukan lebih 40
jenis zat gizi
yang terdapat pada berbagai
jenis makanan, dimana dapat
dipenuhi melalui diversifikasi konsumsi pangan.
Studi yang dilakukan
oleh Hardinsyah (1996)
menunjukkan bahwa diversifikasi pangan
dapat meningkatkan konsumsi
berbagai anti oksidan pangan, konsumsi
serat dan menurunkan resiko
hiperkolesterol, hipertensi dan penyakit
jantung koroner. Berkaitan dengan hal
ini, diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam
mewujudkan ketahanan pangan.
Soetrisno (1998) mendefinisikan diversifikasi pangan lebih
sempit (dalam konteks konsumsi
pangan) yaitu sebagai
upaya menganekaragamkan jenis pangan
yang dikonsumsi, mencakup
pangan sumber energi
dan zat gizi,
sehingga memenuhi kebutuhan akan pangan dan gizi sesuai dengan kecukupan
baik ditinjau dari kuantitas maupun kualitasnya. Secara
lebih tegas, Pakpahan
dan Suhartini (1989) menyatakan dalam konteks
Indonesia diversifikasi/keanekaragaman
konsumsi pangan sering
diartikan sebagai pengurangan
konsumsi beras yang
dikompensasi oleh penambahan konsumsi
bahan pangan non
beras. Menurut Suhardjo
dan Martianto (1992) semakin
beragam konsumsi pangan
maka kualitas pangan
yang dikonsumsi semakin
baik. Oleh karena itu dimensi diversifikasi pangan tidak hanya
terbatas pada pada diversifikasi konsumsi makanan pokok saja, tetapi juga
makanan pendamping.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi keanekaragaman konsumsi pangan
Penganekaragaman
konsumsi pangan dan gizi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : faktor
yang bersifat internal (individual) seperti pendapatan, preferensi, keyakinan
(budaya dan religi), serta pengetahuan gizi, maupun faktor eksternal seperti
faktor agro-ekologi, produksi,
ketersediaan dan distribusi, anekaragam pangan, serta
promosi/iklan.
Penganekaragaman konsumsi
pangan merupakan upaya
memantapkan atau membudayakan pola konsumsi pangan yang beranekaragam
dan seimbang dalam jumlah dan komposisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
gizi yang dapat mendukung hidup sehat, aktif dan produktif. Mengkonsumsi pangan
yang beranekaragam akan dapat memenuhi kebutuhan gizi manusia secara seimbang.
Indikator untuk mengukur tingkat keanekaragaman dan keseimbangan konsumsi pangan masyarakat
adalah dengan skor
Pola Pangan Harapan
(PPH) yang ditunjukkan
dengan nilai 100.
Permasalahan utama
yang dihadapi dalam
penganekaragaman konsumsi pangan
adalah (1) belum tercapainya
skor mutu keragaman dan keseimbangan konsumsi gizi sesuai harapan dan
selama ini pencapaiannya berjalan
sangat lamban dan fluktuatif,
(2) cukup tingginya kesenjangan mutu gizi konsumsi pangan antara masyarakat
desa dan kota, (3) adanya kecenderungan
penurunan proporsi konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal,
(4) lambatnya perkembangan,
penyebaran, penyerapan
teknologi pengolahan pangan
lokal untuk meningkatkan
kepraktisan dalam pengolahan, nilai
gizi, nilai ekonomi,
nilai sosial, citra
dan daya terima,
(5) masih kurangnya sinergi untuk mendorong dan memberikan insentif bagi
dunia usaha dan masyarakat
dalam mengembangkan aneka
produk olahan pangan lokal,
(6) masih kurangnya fasilitasi
pemberdayaan ekonomi dan
pengetahuan untuk meningkatkan aksesibilitas pada pangan beragam,
bergizi, seimbang dan aman.
Situasi pangan dan gizi
masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan satu sama
lain dan sangat kompleks. Faktor faktor tersebut meliputi produksi, penyediaan
pangan, kelancaran distribusi, struktur dan jumlah penduduk, daya beli
rumah tangga sampai pada kesadaran gizi
penduduk dan keadaan sanitasi lingkungan yang senantiasa selalu berkembang
seiring dengan perubahan lingkungan
startegis nasional dan domestik (Rusastra, dkk., 2002). Di luar aspek
daya beli dan ketersediaan pangan yang cukup (jumlah, mutu, keragaman dan
aman), faktor kesadaran pangan dan gizi merupakan faktor yang juga menonjol
dalam menentukan konsumsi pangan yang
beragam dan berimbang (Suhardjo, 1998). Faktor budaya, pendidikan, gaya hidup
juga merupakan faktor penentu konsumsi pangan, namun dalam penentuan pemilihan
pangan, kadangkala faktor prestise menjadi sangat penting dan menonjol.
(Martianto dan Ariani, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa tingginya konsumsi pangan “luxury” di kota dibandingkan
di desa karena: Tingkat pendidikan dan pendapatan di kota lebih baik.
Faktor
yang mempengaruhi penganekaragaman konsumsi pangan di Indonesia
Masyarakat Indonesia
tidak dipungkiri lagi bahwa saat ini sudah nyaman untuk mengkonsumsi beras
sebagai makanan pokoknya. Di tengah kenyamanan pangan masyarakat Indonesia
untuk mengkonsumsi beras. Pemerintah dihadapkan kepada upaya untuk memprogramkan
keanekaragaman konsumsi pangan. Upaya menganekaragamkan pangan ini kembali
didengungkan oleh pemerintah ditengah upaya pemerintah menjaga kesetabilan
pasokan beras di tanah air. Tidak bisa dipungkiri bahwa upaya penyamanan
masyarakat terhadap pangan beras ini telah berlangsung lama semenjak era orde
baru. Ibaratnya pangan beras sudah menjadi status quo yang tidak bisa
dirubah dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ibaratnya Masyarakat belumlah
dikatakan sudah makan jika belum mengkonsumsi beras. Walaupun telah
mengkonsumsi gandum, jagung dsb.
Berbagai
permasalahan dan tingginya
tingkat tantangan yang
akan muncul, yang harus
diantisipasi, terutama dalam mewujudkan pola
konsumsi pangan yang beragam dan bergizi seimbang antara lain :
-
Besarnya jumlah penduduk miskin dan
pengangguran dengan kemampuan akses pangan rendah;
-
Rendahnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat terhadap
diversifikasi pangan dan gizi;
-
Masih dominanannya konsumsi sumber karbohidrat yang berasal dari beras;
-
Rendahnya kesadaran masayarakat terhadap keamanan pangan.
Keragaman sumberdaya
alam dan keanekaragaman hayati
yang dimiliki Indonesia
merupakan potensi yang
dapat dimanfaatkan untuk
mendukung peningkatan konsumsi masyarakat menuju
pangan yang beragam
dan bergizi seimbang. Berbagai sumber pangan lokal dan
makanan tradisional yang dimiliki oleh seluruh
wilayah, masih dapat
dikembangkan untuk memenuhi
keanekaragaman pangan masyararakat pada wilayah yang bersangkutan.
Tingkat pendidikan
masyarakat yang semakin tinggi dapat memberikan peluang bagi
percepatan proses peningkatan
kesadaran gizi, yang
diharapkan dapat merubah prilaku konsumsinya, sehingga mencapai status gizi yang baik, yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Selain itu, perkembangan teknologi
informatika serta strategi komunikasi publik dapat menyediakan peluang
yang tinggi untuk mempercepat
proses,serta memperluas jangkauan
upaya pendidikan masayarakat untuk meningkatkan kesadaran
gizi keluarganya.
Status gizi
merupakan muara akhir
dari semua subsistem
dalam sistem ketahanan pangan,
yang berarti merupakan
salah satu indikator
yang mencerminkan baik buruknya
ketahanan pangan. Pada
tahun 2003, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia
sangat rendah, yaitu peringkat 111 dari 174 negara. Rendahnya IPM
ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya
status gizi dan kesehatan penduduk. Hal
ini terlihat dari masih tingginya
angka kematian bayi, angka kematian
balita dan angka
kematian ibu. Balita adalah
salah satu kelompok masyarakat
yang sangat sensitif terhadap masalah ketahanan pangan. Gizi kurang
berdampak terhadap kesakitan
dan kematian, pertumbuhan, perkembangan intelektual dan
produktifitas (Badan Ketahanan Pangan, 2006).
Sumber/Daftar
Pustaka
Anonim, 2011. http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/09/06/kenyamanan-pangan-vs-keanekaragaman-pangan/. Diakses pada 19 November 2011
Anonim, 2011. http://uwmy.ac.id/ftp-uwmy/. Diakses pada 19 November 2011
Badan Ketahanan Pangan, (2006), Food Insecurity Atlas, Jakarta, Departemen
Pertanian.
Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Timur. 2008. Roadmap Disversifikasi Pangan Jawa Timur. Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Timur. Surabaya
Departemen
Kesehatan RI. 1995. Panduan 13
Pesan Dasar GiziSeimbang. Direktorat Jenderal Pembinaan
Kesehatan Masyarakat Direktorat
Bina Gizi Masyarakat. Departemen
Kesehatan. Jakarta
Gayatri, I.C. 2008. Analisis Faktor Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Keanekaragaman
Konsumsi Pangan Berbasis Agribisnis di Kabupaten Banyumas. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Hanani, Nuhfil. 2005. Disversifikasi Konsumsi Pangan. Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi
VIII.
Hardinsyah. 2007. Review Faktor Determinan Keragaman Konsumsi Pangan. Jurnal Gizi dan
Pangan, Juli 2007 2(2): 55 - 74
Prihananto, V.
2001. Strategi Membangun
Ketahanan Pangan dan Gizi Melalui Kemandirian Lokal. Makalah
disampaikan pada acara seminar Hari Pangan Sedunia Th. 2001 di Kabupaten
Purbalingga, tgl 17 Oktober 2001.
Soekirman.
2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar